Senin, 04 Desember 2017

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI (KOPRI)

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN
KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI
(KOPRI)

      A. STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KOPRI 
      1. Pengantar
Korp PMII Puteri (KOPRI) yang lahir 25 November 1967 merupakan wadah kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.Prinsip Kesetaraan KOPRI yang merupakan salah satu bagian prinsip kesetaraan dalam alquran sebagai khalifatullah fil ardl dan keberadaannnya menjadi rahmat bagi segenap alam.Karenanya keberadaan KOPRI harus dirasakan kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik seluruh umat yang ada dibumi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, keberadaan KOPRI diharapkan mampu  menjadi salah satu kelompok  efektif yang aktif dalam memberikan tawaran-tawaran gerakan untuk mengurai persoalan – persoalan yang muncul di masyarakat  misalnya persoalan HAM, demokrasi, globalisasi, hukum, politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan, kebudayaan, keberagaman dan pluralisme, lingkungan dan yang paling khusus adalah persoalan gender.
KOPRI harus mampu menjelaskan dengan lebih gamblang atas proses-proses diskriminasi sosial dan hukum, subordinasi, pelabelan negatif, kekerasan fisik dan nonfisik, marginalisasi ekonomi, dan beban ganda yang selama ini di alami perempuan tersebut menjelma kedalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang, tradisi dan tafsir agama yang masih memiliki potensi cukup besar untuk dipahami secara bias, Wacana Islam, sebagaimana wacana lainnya (kemanusiaan misalnya) cenderung mengabaikan eksistensi perempuan (HAM-HAP) serta budaya-budaya populer yang merasuk lebih dalam dari agama kedalam individu-individu. Kesemua itu diakumulasikan dalam ketidakadilan yang memang menyatu dalam tubuh perempuan, ia penerima terendah produksi ekonomi,  non-subyek dalam sistem hukum, ia sasaran penghukuman moral dalam politik agama, umpan dalam politik media.
Untuk itu, KOPRI akan selalu melakukan pembacaan kritis dan sensitifitas gender dalam mensikapi produk-produk kebijakan pemerintah dengan memberikan alternatif-alternatif berdasarkan tawaran gagasan yang lebih mengakar dan relevan dengan kepentingan masyarakat khususnya perempuan. Dan pembacaan yang kritis adalah pembacaan yang bersifat multidimensi dan berkelanjutan, karenanya KOPRI Membutuhkan dukungan moral, politik sekaligus intelektual khususnya dari PMII sebagai induk gerakan agar setiap pilihan gerakan yang diambil KOPRI nantinya akan saling menguatkan dan sinergis dengan granddesign yang telah dirancang PMII dalam melihat persoalan masyarakat, negara dan dunia.
Alternatif-alternatif gagasan yang mengakar dan relevan kepentingan perempuan, akan KOPRI munculkan dengan didahului oleh pembacaan persoalan tingkat lokal dengan intensif dan argumentatif untuk kemudian ditarik menjadi kebutuhan bersama ditingkatan yang lebih luas, sehingga KOPRI yang notabene merupakan sebuah institusi pengkaderan berbasis kader perempuan di PMII tidak terjebak pada isu-isu sporadis yang menghabiskan energi dan menghabiskan tujuan organisasi dalam jangka panjang.
KOPRI melihat bahwa perbagai persoalan perempuan yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan, baik persoalan internal maupun eksternal, harus dilihat dengan satu kesepahaman bahwa selain sebagai sebuah pengetahuan yang terus bergerak dan berkembang, jender dan atau feminisme harus menjadi inspirasi gerakan untuk mengurai persoalan perempuan tersebut.

PENGEMBANGAN INTERNAL KOPRI
            Gerakan massif tersebut membutuhkan penguatan internal, menurut Saskia Eleonora Wieringa defenisi yang komprehensif tentang “gerakan perempuan” sangat sukar, karena gerakan perempuan tidak pernah bicara dalam satu bahasa. Tetapi ia memberikan masukan bahwa ; Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar atau tidak sadar, kegiatan, kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai aspek subordinasi gender, yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas preferensi kelas, ras, etnis, umur dan seks.
Organisasi adalah sekumpulan individu yang mengorganisir diri bersama untuk mencapai tujuan atau cita-cita bersama pula.Organisasi memungkinkan sekelompok individu (masyarakat) dapat mencapai hasil yang sebelumnya tidak bisa dicapai jika dilakukan oleh individu secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, organisasi merupakan satu unit yang terkoordinasi yang diperlukan sebagai wadah dan alat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dari sebuah gerakan yang akan dilakukan.
            Organisasi menjadi cukup strategis, karena dalam sebuah organisasi terdapat sistim yang mengatur bagaimana strategi dibangun, kepemimpinan bekerja dan mekanisme diatur.Jadi, gerakan betul-betul terarah dan terpimpin.Dan, semua elemen-elemen penting dalam organisasi tersebut, (tidak perduli apakah organisasinya besar atau kecil) semua elemen itu harus dikelola.Pengelolaan terhadap elemen-elemen organisasi itu disebut manajemen organisasi dan ketika menetapkan organisasi sebagai media gerakan, kitapun harus menatanya sebagai organisasi gerakan.Individu yang bertugas mengelolanya disebut Manajer Organisasi dan peran ini melekat dalam diri para pengurus organisasi.
a.      Peningkatan Sumberdaya Manusia
Dalam Konteks internal, salah satu hal yang bisa dianggap sebagai keberhasilan dari pengkaderan KOPRI adalah munculnya kader-kader perempuan PMII sebagai tokoh-tokoh yang mempengaruhi jalanya perubahan baik dalam konteks lokal maupun nasional dan internasional. Alumni KOPRI atau perempuan yang dimiliki PMII yang tersebar di seluruh Indonesia, merupakan satu kekuatan jaringan pengetahuan dan sosial ekonomi politik yang harus bisa dibangun untuk mempercepat proses munculnya tokoh-tokoh perempuan dikemudian hari karena tingkat persaingan yang memang semakin keras.
1.      Menjadikan KOPRI sebagai kawah candradimuka yakni tempat pengkaderan dan penggodokan kader perempuan PMII.
2.      Dilaksanakannya Kaderisasi guna menunjang kaderisasi Formal yakni  Sekolah Kader KOPRI (SKK), Workshop Kepemimpinan, Pelatihan Analisis anggaran, analisis Media, Publik Speaking, TOT dll.
3.      Adanya klasifikasi Potensi Kader dan dikembangkan melalui kaderisasi.
4.      Adanya distribusi kader sesuai dengan potensinya masing-masing.


a.      Penguatan Institusi KOPRI
1.      Adanya visi gerakan bersama “Membangun Sinergitas; Mengawal kepemimpinan Perempuan Nusantara”
2.      Adanya Institusi KOPRI disetiap level kepengurusan.
3.      Adanya SDM pengurus yang memadai sesuai dengan potensi dan tugasnya.
4.      Adanya sinergitas gerakan yang mendukung pengembangan organisasi dari pusat sampai daerah.
5.      Adanya komunikasi yang baik guna mendorong solidaritas Gerakan.
6.      Adanya Peraturan Organisasi

b.      Penguatan Jaringan alumni perempuan PMII
            Dalam Konteks internal, salah satu hal yang bisa dianggap sebagai keberhasilan dari pengkaderan KOPRI adalah munculnya kader-kader perempuan PMII sebagai tokoh-tokoh yang mempengaruhi jalanya perubahan baik dalam konteks lokal maupun nasional dan internasional. Alumni KOPRI atau perempuan yang dimiliki PMII yang tersebar di seluruh Indonesia, merupakan satu kekuatan jaringan pengetahuan dan sosial ekonomi politik yang harus bisa dibangun untuk mempercepat proses munculnya tokoh-tokoh perempuan dikemudian hari karena tingkat persaingan yang memang semakin dinamis.

c.       Penguatan ideologi dan paradigma
            KOPRI PB PMII merupakan wadah pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kader dan mengawal isu-isu perempuan. KOPRI PB PMII memiliki Paradigma Kritis Transformatif (PKT) dalam melihat realitas kebangsaan dan berpijak pada Ahli sunnah Waljama’ah. Selain itu memandang bahwa: Berbagai bentuk penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang merendahkan martabat dan kemanusiaan kaum perempuan. Oleh karena itu, harus ada perubahan cara berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir untuk menegakkan kembali martabat dan kemanusiaan tersebut melalui proses penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat.
Selain itu kita memandang bahwa “Tindakan bersama secara sadar dan terorganisir dari kaum perempuan (sebagai pemilik kepentingan) untuk bebas dari berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan yang berakar dari adanya perendahan martabat kemanusiaan kaum perempuan, Karena Berbagai bentuk penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang merendahkan martabat dan kemanusiaan kaum perempuan. Sehinga harus ada perubahan cara berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir untuk menegakkan kembali martabat dan kemanusiaan tersebut melalui proses penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat. Melalui pemahaman gerakan yang berlandaskan aswajah dan  Berwawasan perspektif gender dengan mendorong gerakan kesetaran dan kesadaran gender ditingkatan mahasiswa dan masyarakat.
            Dengan landasan Aswaja sebagai kerangka operasional dan kesadaran liberatif PMI,I maka akan terbentuk kader perempuan PMII yang mampu mengekspresikan nilai dan pengetahuan yang sama yang berasal dari manapun dengan artikulasi diri yang optimal tanpa halangan konsepsi ekonomi, politik, dan budaya yang membatasi peran.
            Olehnya, dengan meminjam teori jurgen Hubermas tentang “public sperare”, maka kader perempuan PMII didorong untuk mencapai pemenangan war of position dengan tetap menghargai harmoni kultur. Olehnya akan tercipta kader perempuan yang memiliki kesadaran kritis, pola kaderisasi yang menciptakan identitas dan citra diri kader yang cerdas, visioner dan berakhlaqul kharimah, memiliki karakter yang kuat serta pijakan gerakan pada Aswaja dan kearifan lokal.Penguatan Indeologi ini harus semakin diperkuat dalam setiap kaderisasi dan menjadi Ruh Gerakan.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR



ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

A.    Pengantar
                 Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keagamaan mayoritas umat islam. Di mana Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap kaum muslimin. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.
                 Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab (qauli). Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
                 Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

  B. Pengertian Aswaja
                 Secara semantik arti Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab, maka artinya adalah penganut aliran atau penganut madzhab (ashab al-madzhab).
                 As-Sunnah mempunyai arti “jalan”, disamping memiliki al-hadits. Disambungkan dengan Ahl, keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in. Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in.
                 Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berpaham Aswaja. Dalam Qonun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan devinisi Aswaja, namun tertulis di dalam qonun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang Akidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Ma’turidi, dalam bidang fiqih menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Madzahibul Arba’ah -Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf –akhlak menganut Imam Junaedi Al-Bagdadi dan Imam Abu Hamid Al-Gozali.
                 Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para ulama dimaksud.
                 Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis-operasional. Ini seperti Nabi yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang digambarkannya, tapi Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis.
                 Dalam proses memahami dan mengamalkan ajaran Islam, NU mengembangkan dua cara bagi dua kelompok umat yang berbeda, Alim atau Kader Mujtahid (orang yang memiliki manhaj al-fikr sendiri) dan Awam. Bagi seorang alim, ia harus berijtihad untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Adapun bagi seorang awam, ia harus bertaqlid kepada mujtahid, entah secara qauli (taqlid kepada pandangan-pandangan parsial dari Imam) atau secara manhaji (taqlid kepada model berpikir atau pola pikir imam). Pada titik inilah, kejelasan metode berpikir aswaja bagi para kader pemikir PMII menjadi penting, hal ini terjadi karena tuntutan untuk dapat menjawab berbagai problematika yang terjadi di zamannya.


C.    Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr
                 Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul membaca ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil simposium Aswaja di tulung Agung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siradj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja di Tafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para Intelektual dan Ulama untuk merujuk langsung kepada Ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
                 Sebagai manhaj al-fikr, PMII memandang bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar Tawasut (moderat), tawazun (keseimbangan), Ta’adul (proporsional) dan Tasamuh toleran. Aswaja bukan hanya sebuah Madzhab (qauli), melainkan juga memiliki metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
                 Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip Tawasut (moderat), Tawazun (keseimbangan), Tasamuh (toleran) dan ta’adul (proporsional). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbat) yaitu memperhatikan posisi akal disamping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (al-qur’an dan al-hadits) dengan penggunaan akal, berarti Tawasut adalah sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
                 Ini diberdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 143 Artinya,  “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
                 At-Tawazun (keseimbangan) dan toleran (tasamuh) terepleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial-budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, idiologi politik dan agama, PMII memandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah Swt memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali tawazun dan tasamuh.
Firman Allah SWT dalam surah  al-Hadid: 25 Artinya “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
                 Sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama (al-Hujurat ayat 13). Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam surah Thaha: 44, artinya “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
                 Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah".
                 Ta’adul atau proporsional dalam segala hal. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman dalam surah al-Maidah: 8, artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI (KOPRI)

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI (KOPRI)       A. STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KOPRI   ...