Senin, 04 Desember 2017

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR



ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

A.    Pengantar
                 Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keagamaan mayoritas umat islam. Di mana Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap kaum muslimin. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.
                 Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab (qauli). Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
                 Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

  B. Pengertian Aswaja
                 Secara semantik arti Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab, maka artinya adalah penganut aliran atau penganut madzhab (ashab al-madzhab).
                 As-Sunnah mempunyai arti “jalan”, disamping memiliki al-hadits. Disambungkan dengan Ahl, keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in. Al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in.
                 Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berpaham Aswaja. Dalam Qonun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan devinisi Aswaja, namun tertulis di dalam qonun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang Akidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Ma’turidi, dalam bidang fiqih menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Madzahibul Arba’ah -Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf –akhlak menganut Imam Junaedi Al-Bagdadi dan Imam Abu Hamid Al-Gozali.
                 Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para ulama dimaksud.
                 Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis-operasional. Ini seperti Nabi yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang digambarkannya, tapi Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis.
                 Dalam proses memahami dan mengamalkan ajaran Islam, NU mengembangkan dua cara bagi dua kelompok umat yang berbeda, Alim atau Kader Mujtahid (orang yang memiliki manhaj al-fikr sendiri) dan Awam. Bagi seorang alim, ia harus berijtihad untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Adapun bagi seorang awam, ia harus bertaqlid kepada mujtahid, entah secara qauli (taqlid kepada pandangan-pandangan parsial dari Imam) atau secara manhaji (taqlid kepada model berpikir atau pola pikir imam). Pada titik inilah, kejelasan metode berpikir aswaja bagi para kader pemikir PMII menjadi penting, hal ini terjadi karena tuntutan untuk dapat menjawab berbagai problematika yang terjadi di zamannya.


C.    Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr
                 Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul membaca ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil simposium Aswaja di tulung Agung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siradj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja di Tafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para Intelektual dan Ulama untuk merujuk langsung kepada Ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
                 Sebagai manhaj al-fikr, PMII memandang bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar Tawasut (moderat), tawazun (keseimbangan), Ta’adul (proporsional) dan Tasamuh toleran. Aswaja bukan hanya sebuah Madzhab (qauli), melainkan juga memiliki metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
                 Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip Tawasut (moderat), Tawazun (keseimbangan), Tasamuh (toleran) dan ta’adul (proporsional). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbat) yaitu memperhatikan posisi akal disamping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (al-qur’an dan al-hadits) dengan penggunaan akal, berarti Tawasut adalah sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
                 Ini diberdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 143 Artinya,  “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
                 At-Tawazun (keseimbangan) dan toleran (tasamuh) terepleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial-budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, idiologi politik dan agama, PMII memandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah Swt memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali tawazun dan tasamuh.
Firman Allah SWT dalam surah  al-Hadid: 25 Artinya “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
                 Sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama (al-Hujurat ayat 13). Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam surah Thaha: 44, artinya “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
                 Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah".
                 Ta’adul atau proporsional dalam segala hal. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman dalam surah al-Maidah: 8, artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI (KOPRI)

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTERI (KOPRI)       A. STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KOPRI   ...